Abdul Yasin Basirun, pria berusia 71 tahun kelahiran Gorontalo, sehari hari menjalani aktivitasnya sebagai pemulung di Kota Luwuk. Pekerjaan itu sudah ia lakoni sejak 10 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2011.
Abdul Yasin lahir pada tanggal 8 Januari 1950 di Gorontalo. hijrah ke Kota Luwuk, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah sejak tahun 1988. Ia mempuyai saudara yang merupakan kakak darinya di Kota Luwuk.
Ia memiliki dua orang istri dan lima orang anak yang masing-masing telah berkeluarga. Istri pertama dan anak ke tiganya, telah meninggal dunia.
Saat pertama kali menginjakan kakinya di Luwuk, ia memulai pekerjaaan sebagai tukang sensor kayu di hutan. Pekerjaan itu ia lakukan selama tiga tahun.
Setelah menjalani pekerjaan selama tiga tahun menjadi tukang sensor, ia berhasil mengumpulkan modal dan beralih jadi penjual ikan di pasar Simpong pada tahun 1993.
Sayangnya, ketika usahanya mulai jalan dengan cukup pesat, pasar Simpong pada saat itu dilanda musibah kebakaran yang cukup besar. Itu merupakan kebakaran pertama kali melanda pasar tersebut.
Kemudian, pada tahun 2001, Abdul Yasin bekerja di agen denreng sabar menanti selama 4 tahun lamanya.
Merasa tak cocok lagi dengan tempat pekerjaannya di agen itu, Abdul Yasin memilih untuk istrahat dari kerjanya tahun 2005 dan beralih memelihara kambing.
Kambing yang ia pelihara awalnya satu ekor betina ia beli hasil dari tabunganya. Setelah beberapa tahun dipelihara, kambing menjadi 30 ekor.
Hanya saja, dari 30 ekor kambing yang ia pelihara, hanya 6 ekor saja yang berhasil terjual dan menghasilkan. Karena saat itu hewan peliharaanya diserang oleh penyakit.
Abdul Yasin ketika ditemui media ini di Jl. Dr Moh Hatta, Jumat (20/8/2021), mengatakan, saat ini ia tinggal di rumah kakaknya di komplek anugra, Kelurahan Mangkio Baru, Luwuk. Setelah lerlepas dari pekerjaan yang sudah digelutinya, ia terpaksa memilih menjadi pemulung sejak 2011 dan ia jalani hingga 2021 saat ini.
“Anak-anak saya sudah pernah larang saya kerja begini, saya masih juga tetap kerja karena semuah anak saya masing-masing telah berkeluarga jadi saya harus tetap kerja begini untuk mencari nafkah sendiri bukan minta-minta,” kata Abdul Yasin.
Ada yang unik dari aktivitas Abdul Yasin sehari hari. Pada bulan Agustus ini, ia selalu mengibarkan bendera merah putih di gerobaknya kemanapun ia pergi.
Bendera Merah Putih yang selalu berkibar digerobak sang pemulung itu, melambangkan kerasnya perjuangan demi mencapai Kemerdekaan untuk hidup sehari-hari.
Sehari-hari ia memulai pekerjaanya pada pukul 08:00 Wita. Ia terus bekerja sampai ia merasa cukup. Setelah merasa lelah, ia kemudian kembali ke rumah tempat tinggalnya untuk beristrahat.
Abdul Yasin selalu mengumpulkan dos dan barang bekas serta rongsokan lain yang ia lihat di tong sampah maupun di jalanan.
Barang bekas yang dikumpulkan tidak langsung dijual, melainkan dikumpulkan sampai banyak, kemudian barulah dijual sekaligus.
“Mana yang cepat saya dapat dan ada harga itu yang saya cari dan jual,” kata abdul
Selain itu, Abdul juga mengumpulkan bekas akua gelas untuk ia jual ke orang yang berkebun nilam, dengan harga yang bisa dia dapatkan yaitu 30 ribu perkilo.
Abdul Yasin mengatakan, saat bekerja, harus selalu bersemangat dan tetap bersyukur, berapapun yang kita dapatkan.
Ia mengatakan, bendera Merah Putih yang ia selalu ia kibarkan di depan gerobaknya itu, adalah sebuah pertanda soal semangat juangnya dalam mencari nafkah.
“Sebagaimana semangat para pejuang Pahlawan Republik Indonesia kala itu ketika mereka berjuang keras melawan para penjajah,” katanya.
(yman)
Discussion about this post