Salah satu program perioritas pemerintah daerah Kabupaten Banggai adalah soal bantuan untuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Bantuan ini akan diberikan kepada setiap desa, melalui badan usaha yang dibentuk, yang selama ini dikenal dengan sebutan BUMDes.
BUMDes akan berperan sebagai dinamisator ekonomi di desa. Dengan bantuan dana yang diberikan, BUMDes akan menjadi pembeli hasil produksi pertanian perkebunan, perikanan, maupun produksi rumah tangga lainnya yang ada di desa, sesuai dengan potensi yang ada di desa masing-masing.
Gagasan ini benar benar memberi inspirasi dan juga mimpi bagi setiap warga desa, soal perubahan besar di era kepemimpinan Bupati Amirudin.
Tentunya dalam pelaksanaan ide besar ini, membutuhkan sebuah prosedur yang tidak bertentangan dengan regulasi, serta tidak mencederai rasa keadilan dan rasionalitas. Ini penting, agar semua berjalan normal. Desa menerima manfaat dengan baik, dan pemerintah daerah sebagai pemberi bantuan juga berada dalam koridor yang cerdas dan profesional.
Pertanyaan besar bagi saya dalam ide ini adalah, bagaimana caranya agar anggaran yang akan diberikan pemerintah daerah itu, bisa sampai ke BUMDes?
Saya membaca rancangan APBD Perubahan Kabupaten Banggai tahun 2021, yang menempatkan alokasi anggaran sebesar Rp2,5 miliar untuk bantuan BUMDes. Hanya saja, alokasi anggaran tersebut diletakan pada pos pengeluaran pembiayaan, bukan pada belanja atau pada pos bantuan keuangan.
Disinilah letak kerancuan yang bagi saya perlu kajian dan perbaikan pada masa yang akan datang. Saya memulai argumentasi saya ini pada pengertian berikut ini.
“Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran berkenaan maupun pada tahun anggaran berikutnya,” (Permendagri 64 Tahun 2020, Halaman 61)
Berdasarkan pengertian diatas, maka jelas bahwa penempatan dana sebesar Rp2,5 miliar untuk BUMDes pada pos pengeluaran pembiaayaan, akan berkonsekwensi pada pengembalian. Karena pada hakikatnya, pos pengeluaraan pembiaayaan pada postur APBD membutuhkan “penerimaan kembali” baik pada tahun berkenaan atau pada tahun berikutnya.
Artinya apa? BUMDes, sebagai penerima bantuan dana, berkewajiban mengembalikan kepada pemerintah daerah (kas daerah) atas dana yang diberikan.
Jika membaca kontruksi APBD Perubahan Kabupaten Banggai tahun 2021, dana BUMDes ini sepertinya akan dilaksanakan seperti program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) yang selama ini dilaksanakan di Badan Ketahanan Pangan. Setiap penerima dana LUEP, wajib mengemebalikan dana kepada pemerintah daerah melalui kas daerah setiap tahun, dan menjadi dana bergulir. Dana yang dikembalikan oleh kelompok “A”, akan diberikan kembali kepada kelompok “B”, begitu seterusnya.
Jika demikian, tak ada bedanya LUEP dan bantuan BUMDes ini. Jika LUEP penerimanya adalah kelompok masyarakat atau perorangan, bantuan BUMDes pemerimanya adalah BUMDes. Jika LUEP dikelolah oleh Dinas Ketahanan Pangan, maka bantuan BUMDes dikelolah oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Beda penerima, beda pengelola. Substansinya sama.
Harus dicatat, sejak program LUEP dilaksanakan Pemda Banggai dalam beberapa tahun silam, hingga saat ini selalu menyisakan masalah. Para penerima LUEP banyak yang tidak dapat mengembalikan dana setiap tahun, dan kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keangan. Itu hanya dana LUEP, yang jumlahnya hanya Rp1 miliar saja. Bagaimana jika BUMDes, yang pada tahap awal saja sudah Rp2,5 miliar (mungkin untuk 10 sampai 20 BUMDes saja). Jika untuk 291 BUMDes? ratusan miliar kan? jika prosedurnya tidak tepat, ini bisa jadi masalah dikemudian hari.
Seharusnya, pemerintah daerah menggunakan skema lain, sebagaimana diatur pula dengan jelas dalam Permendagri 64 Tahun 2020. Yaitu dengan menggunakan skema bantuan dalam pos belanja bantuan keuangan.
Seperti diketahui, belanja daerah terbagi atas 4 macam. Pertama belanja Operasi (ini untuk pegawai), Kedua Belanja Modal (ini untuk infrastruktur/aset), ketiga Belanja Tidak Terduga (ini untuk kondisi darurat) dan Keempat belanja transfer (nah, yang ini untuk desa)
Mari kita lihat pengertiannya : “Belanja transfer merupakan pengeluaran uang dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya dan/atau dari Pemerintah Daerah kepada pemerintah desa,” (Permendagri 64/2020 halaman 56).
Belanja transfer, dirinci dalam dua macam, pertama belanja bagi hasil (selama ini dikenal dengan sebutan PDRD kalau di desa) dan kedua, belanja bantuan keuangan (selama ini dikenal dengan sebutan ADD kalau di desa).
Selama ini, pemerintah daerah Kabupaten Banggai hanya memberikan bantuan keuangan kepada desa, melalui alokasi ADD yang diambil dari 10 persen dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten, setelah dikurangi DAK.
Padahal, bantuan keuangan itu tidak hanya ADD saja. ADD hanyalah salah satu jenis bantuan keuangan dari kabupaten kepada desa. Bantuan keuangan itu ada dua macam, ada bantuan keuangan yang bersifat umum dan ada bantuan keuangan yang bersifat khusus.
Dalam Permendagri 64/2020 sangat jelas diatur, bahwa :
Bantuan keuangan yang bersifat khusus, peruntukannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah pemberi bantuan dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada penerima bantuan yang digunakan untuk membantu capaian kinerja program prioritas Pemerintah Daerah penerima bantuan keuangan sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan penerima bantuan.
Pemberi bantuan keuangan bersifat khusus, dapat mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) penerima bantuan. (Permendagri 64/2020 Halaman 59).
Ketentuan diatas menegaskan bahwa bantuan keuangan yang bersifat khusus, sudah ditetapkan oleh pemberi bantuan soal peruntukannya. Jika Pemda Banggai sudah menetapkan bahwa bantuan tersebut diperuntukan untuk BUMDes, maka desa penerima bantuan keuangan itu tidak bisa menggunakan selain untuk BUMDes.
Selain itu, desa penerima bantuan keuangan yang bersifat khusus ini, dapat diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping dari APBDes. Sebagai contoh, jika Pemda Banggai memberikan bantuan Rp75 juta, maka desa yang bersangkutan harus menyediakan dana pendamping Rp25 juta dari APBDes. Dengan begitu, BUMDes akan mendapatkan 100 juta yang bersumber dari Pemda dan dari desa. Begitu setrusnya hingga mencapai Rp500 juta sebagaimana visi misi kepala daerah.
Dengan bantuan keuangan yang bersifat khusus, maka pemerintah daerah memberikan alokasi anggaran kepada BUMDes melalui transfer dari APBD kepada desa (APBDes). Desa kemudian mengalokasikan dana itu dalam APBDes, melalui pos penyertaan modal ke BUMDes.
BUMDes akan menggunakan dana tersebut sebagai instrumen bisnis dalam mengamankan hasil produksi warga desa. BUMDes tidak bisa keluar dari alur bisnis dan usaha yang sudah diatur pemerintah daerah sebelumnya. Masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah daerah, akan menjadi mengawasi dan mengontrol jalannya usaha ini.
Seharusnya “skema bantuan” ini yang digunakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Banggai dalam mendorong kebijakan bantuan BUMDes. Bukan “skema pinjaman” dalam pos pembiayaan sebagaimana yang saat ini sedang dipersiapkan.
Pemerintah daerah cukup menerbitkan Perda, atau Perkada, untuk mengatur soal teknis pelaksanaan bantuan keuangan yang bersifat khusus ini kepada desa. Dibuatkan aturan soal BUMDes yang seperti apa yang layak menerima bantuan, diatur soal dana bantuannya digunanakan untuk apa saja, dan tidak boleh digunakan untuk apa saja, dan lain-lain.
Dengan skema bantuan ini, maka BUMDes tidak perlu mengembalikan dana kepada pemerintah daerah atas dana yang diterimanya. BUMDes cukup mengembangkan usahanya, dan fokus pada tugas sebagai dinamisator ekonomi di desa. Dengan begitu, kebijakan pemerintah daerah benar benar dapat dirasakan oleh warga desa, melalui program BUMDes.
Dengan demikian, program BUMDes ini akan menjadi sebuah revolusi bisnis di desa, sekaligus sebagai tonggak awal masyarakat desa yang berkemajuan. Gagasan ini juga akan menjadi sebuah inovasi kebijakan pro rakyat, dengan menjadikan APBD sebagai instrumen utamanya.
Namun jika skemanya adalah pinjaman, maka tidak semua BUMDes berani mengakses program ini. Hanya BUMDes tertentu saja yang berani mengakses program ini.
Selain itu, jika skemanya adalah pinjaman, mengapa pemerintah tidak mendorong saja dunia perbankan yang ada di Kabupaten Banggai, untuk memberikan akses pinjaman modal bagi BUMDes. Pemerintah cukup berperan sebagai fasilitator antara BUMDes dan Perbankan, dengan meminta kebijakan “bunga rendah” kepada perbankan untuk BUMDes.
Ada lebih dari 11 Bank yang membuka kantor cabang di Kabupaten Banggai saat ini. Jika seluruhnya menjajalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk pinjaman modal, dengan bunga rendah kepada BUMDes yang layak, maka APBD Kabupaten Banggai tidak perlu terbebani dengan program BUMDes ini.
Skema pinjaman bagi usaha desa, dengan menggunakan pihak perbankan sebagai instrumen penyedia modal, justru akan lebih terlihat profesional dan berkualitas, karena mendorong kemandirian ekonomi di desa tanpa menggunakan APBD.
Bayangkan, Kabupaten Banggai memiliki 291 desa dengan jumlah BUMDes aktif sebanyak 130 BUMDes. Jika 130 BUMDes itu diberikan “pinjaman” sebesar Rp500 juta dari APBD, maka setidaknya butuh anggaran sebesar Rp65 miliar dana yang harus disiapkan pada pos pembiayaan daerah, untuk menuntaskan program ini.
Atau kalaupun tidak sebesar Rp500 juta, melainkan hanya Rp100 juta, tetap saja APBD harus menanggung Rp13 miliar untuk dana bergulir ini. Bagi saya, skema ini sangat tidak populis.
Jika memang program BUMDes ini harus dibebankan kepada APBD, maka jangan tanggung tanggung. Berikan saja bantuan tanpa harus dikembalikan. Pemda cukup membuat regulasinya, sebagai alat kontrol dan evaluasi. Toh ruang itu juga tersedua dalam regulasi pengelolaan keuangan darah.
Tak usalah Pemda berubah fungsi menjadi “perbankan” yang mengatur siklus pinjaman nasabah. Jika memang konsepnya adalah pinjaman, jangan pula tanggung tanggung, serahkan saja kepada perbankan yang mengurusinya. Pemerintah cukup membukakan aksesnya. Biarlah BUMDes dan Perbankan yang memainkan peran-peran bisnisnya.
Memang sih, baik skema pinjaman maupun skema bantuan keuangan, sama sama diatur dalam regulasi pengelolaan keuangan daerah. Tetapikan kita harusnya memilih, sekema mana yang lebih populis. Bukan begitu?
Discussion about this post