BERITABANGGAI.COM,Luwuk—Beberapa waktu lalu, Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai menggelar sosialisasi dan penggalangan komitmen bersama menuju eradikasi frambusia.
Selain dr. Ramona Utami, Sp.KK, M.Kes dari RSUD Luwuk, kegiatan ini menghadirkan pemateri, dr Lucky B R Rondonuwu, dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng.
Sosialisasi dan penggalangan komitmen bersama itu dilaksanakan, karena kabupaten Banggai sedang menuju eradikasi frambusia.
Sebelumnya Kabupaten Banggai dinyatakan sebagai salah satu dari 79 kabupaten kota yang bebas frambusia.
Nantinya, tahun depan Kabupaten Banggai akan mengajukan penilaian untuk sertifikasi eradikasi frambusia.
Lantas apa itu frambusia atau yang juga dikenal dengan nama patek atau puru?
Theodora Chintya, Kepala Subkoordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai, mengemukakan, frambusia termasuk 20 jenis-delapan di antaranya ada di Indonesia- penyakit tropis yang terabaikan.
Selain frambusia, penyakit tropis terabaikan lainnya, di antaranya filariasis atau kaki gajah dan kusta.
Dalam upaya penanganan dan pengendalian menuju eradikasi frambusia di Kabupaten Banggai, peran lintas program dan lintas sektor sangat diperlukan.
Sebab, frambusia adalah penyakit tropis yang sudah dilupakan.
dr Lucky B R Rondonuwu seorang Epidemiolog Sulteng, menerangkan, frambusia dikenal sebagai penyakit tropis yang sudah tidak dikenal lagi.
Bahkan, di kalangan Nakes pun sudah tidak mengenal apa itu frambusia. Padahal, meski tidak populer, penyakit ini kerap menimbulkan masalah kesehatan.
Hal lain, penanganan frambusia sangat tergantung pada lintas program dan lintas sektor sebab pengelola frambusia di puskesmas tidak dapat bekerja sendiri.
Sebagai contoh, dalam banyak kasus, faktanya penyakit frambusia dipastikan kerap mencuat di daerah-daerah kering, tandus, dan krisis air.
Sementara yang menangani masalah air dan penyehatan lingkungan adalah instansi teknis seperti PUPR.
“Itulah mengapa pengendalian frambusia diperlukan kerja sama dan peran lintas program dan lintas sektor,” katanya.
Latar belakang lainnya mengapa pengendalian penyakit ini perlu melibatkan peran lintas sektor/program karena keberasilan pengendalian frambusia berdampak pada multi sektor dan akan menggambarkan situasi kesehatan nasional.
Ini, karena kasus frambusia yang sudah tidak dikenal itu dapat menyebabkan kecacatan.
Sehingga, secara medis dan ekonomi sangat berdampak pada penderita.
Di level lebih luas, negara dengan kasus frambusia akan dikenal sebagai negara dengan sanitasi dan derajat kesehatan yang buruk.
“Olehnya Kemenkes dan WHO melakukan eradikasi frambusia,” katanya.
Dalam kesempatan itu, ia menerangkan soal eliminasi maupun eradikasi yang kerap digunakan untuk pengendalian kusta dan frambusia.
Eliminasi adalah menurunkan angka kejadian suatu penyakit sampai pada satu titik. Di mana penyakit tersebut sudah terkendali dan tidak menjadi masalah lagi.
Namun, eliminasi hanya sekadar menurunkan kasus (hingga terkendali), dan belum sampai di tahapan menghilangkan.
Sebagai contoh, penyakit kusta, kasusnya hanya ditolerensi 1/10.000 penduduk.
Artinya, jika dalam satu wilayah Puskesmas yang melayani sebanyak 9000-9999 penduduk, maka aturannya di wilayah tersebut tidak boleh terdapat satu pun kasus kusta.
“Puji syukur untuk di Kabupaten Banggai telah mencapai kondisi (eliminasi kusta) tersebut,” katanya.
Sementara eradikasi adalah upaya pembasmian berkelanjutan untuk menghilangkan suatu penyakit.
Jika ditemukan satu kasus frambusia dalam satu desa, maka desa tersebut akan disebut sebagai endemis frambusia.
“Satu kasus saja mencuat, maka satu wilayah, baik itu desa, kecamatan maupun wilayah setingkat kabupaten atau negara akan disebut sebagai endemis frambusia,” katanya.
“Eliminasi adalah menurunkan, sementara eradikasi yakni upaya pembasmian, menghilangkan kasus, sehingga ada lagi satu kasus pun di satu wilayah,” tambahnya.
Ia lalu menjelaskan tanda dan gelaja kusta maupun frambusia, dua penyakit yang oleh WHO dikelompokkan sebagai Neglected Tropical Diseases/NTDs.
Kusta, kata dia, adalah penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri /kuman kusta.
Bakteri ini menyerang kulit dan saraf tepi. Tanda dan gejala kusta dapat diketahui dari bercak putih atau merah (kemerahan) yang mati rasa.
Kemudian tanda kedua yang hanya dapat ditemukan oleh tenaga kesehatan terlatih yakni adanya penebalan saraf disertai gangguan fungsi saraf.
Tanda lainnya yakni ditemukan adanya kuman kusta. Kuman tersebut dapat diketahui dan dilakukan pemeriksaan melalui laboratorium.
Menurutnya, paling populer tanda kusta adalah bercak yang modelnya mirip panu.
“Bedanya, panu gatal, kusta tidak gatal, kecuali kusta dan panu muncul di waktu yang sama,” katanya.
“Kemudian panu tidak ada mati rasa, kusta ada mati rasa, ini adalah poin penting dalam penegakan diagnosis kusta,” katanya, dalam sosialisasi yang dihadiri penanggung jawab program frambusia puskesmas yang digelar Dinkes Banggai, belum lama ini.
Sementara, Frambusia, kata dia, adalah penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri treponema pallidum subspecies pertenue.
Tanda dan gejala penyakit infeksi ini ditandai oleh luka koreng yang tidak sembuh-sembuh dan bukan disebabkan oleh trauma.
Baik kusta dan frambusia, kata dia, dapat dilakukan pengobatan melalui Puskesmas dan gratis.
“Pengobatan penyakit kusta dan frambusia tersedia gratis di Puskesmas,” terangnya. (BB/007)
Discussion about this post