BERITABANGGAI.COM, LUWUK – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sulawesi Tengah menjadi sorotan publik setelah kabar jamuan makan bersama Bupati Banggai menghiasi pemberitaan media di Luwuk, Kabupaten Banggai pada Sabtu (6/9/2025).
Jamuan makan tersebut menjadi sorotan lantaran dianggap tidak pantas dan cenderung melanggar kode etik, karena BPK merupakan lembaga negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Apalagi, kehadiran Kepala BPK Ri Sulteng, Putu Wisudhantara di Kabupaten Banggai, disebutkan sebagai bagian dari agenda supervisi terhadap tim pemeriksa yang saat ini sedang bertugas di Banggai serta dua kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah.
Seperti ramai diberitakan media di Luwuk, Bupati Banggai menjamu rombongan Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Sulteng yang dipimpin lagsung Kepala BPK RI Perwakilan Sulteng, Putu Wisudhantara. Jamuan makan dilakukan di sebuah rumah makan kadompe, yang terletak di pesisir pantai, Kelurahan Maahas, Kecamatan Luwuk, pada Sabtu (6/9/2025) sore.
Selain Bupati Banggai, Amirudin, hadir dalam jamuan makan tersebut, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Banggai, Damri Dayanun, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Irpan Poma, Plt. Inspektur Inspektorat Kabupaten Banggai, Syafrullah Mambuhu.
Aktivis Puncak Juang Kabupaten Banggai, Hendro Purnomo, menilai jamuan makan tersebut akan membuat prespesi publik menjadi buruk, terutama terhadap citra dan independensi BPK selaku badan pemeriksa keuangan.
“Publik akan menilai sendiri dari fenomena itu. Seharusnya jamuan makan itu tidak terjadi,’ katanya.
Pejabat Kementerian PANRB, Nadjamudin Mointang, yang diminta pendapat terkait fenomena tersebut, menjelaskan, dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK terikat pada Kode Etik BPK RI, yang diatur dalam Keputusan BPK Nomor 4/K/I-XIII.2/7/2008 dan perubahannya.
Kode Etik menegaskan bahwa pemeriksa harus menjaga independensi, integritas, dan objektivitas, serta menghindari situasi yang menimbulkan konflik kepentingan atau kesan tidak independen.
Berdasarkan Kode Etik BPK dan juga selaras dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), pemeriksa dilarang menerima gratifikasi, pemberian, fasilitas, atau jamuan yang dapat mempengaruhi independensi.
“Artinya, jamuan makan dari Pemda kepada pemeriksa BPK tidak dibenarkan, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan merusak kepercayaan publik terhadap independensi pemeriksa,” katanya.
Hal tersebut juga sejalan dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (dan perubahan terkait gratifikasi_red), yang menyebutkan bahwa pemberian dalam bentuk apapun kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri dianggap gratifikasi dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika terkait jabatan.
Karena auditor BPK adalah pejabat negara, maka pemberian jamuan makan oleh Pemda dapat ditafsirkan sebagai gratifikasi bila terkait tugas pemeriksaan. (*)
(bb/03)













Discussion about this post