BERITABANGGAI.COM, LUWUK – Pandemi covid-19 terus menghantam Kabupaten Banggai. Sejumlah upaya telah dilakukan, termasuk kebijakan belakangan ini mengenai penerapan PPKM, namun belum juga membuahkan hasil yang lebih baik.
Wabah ini telah melanda Kabupaten Banggai sejak tahun lalu. Pemerintah daerah telah menggelontorkan sejumlah anggaran untuk penanganannya, termasuk dukungan dari berbagai pihak.
Media ini mencoba menelusuri pengelolaan dana penanganan covid-19, baik yang bersumber dari anggaran belanja daerah, maupun dukungan dari berbagai kalangan. Berikut ringkasan pengelolaan dana covid-19 di Kabupaten Banggai yang dirangkum dari berbagai sumber, yang diantaranya mengindikasikan adanya penyimpangan dan praktek makan untung dibalik wabah yang memukul ekonomi ini.
Pada awal tahun 2020 lalu, saat covid-19 mulai menginveksi masyarakat Kabupaten Banggai, pemerintah daerah melakukan kebijakan refocusing anggaran untuk penanganannya. Selain itu, pemerintah daerah juga mengajukan permohonan bantuan kepada berbagai pihak, termasuk kepada PT.Bang Sulteng Cabang Luwuk, salah satu bank milik pemerintah daerah.
Pihak PT.Bank Sulteng menggelontorkan anggaran senilai Rp922.659.620 yang disalurkan melalui rekening pribadi Sin Cokrovanus, yang merupakan direktur Perusahaan Daerah Banggai Sakti. Dana tersebut ditransfer dalam dua tahap, yakni tahap pertama pada tanggal 3 Juni 2020 senilai Rp 483.172.908 dan tahap kedua tanggal 25 September 2020 senilai Rp439.486.712.
Dana tersebut dibelikan sembako dan diserahkan ke dua OPD, yakni Dinas Pendidikan dan Dinas Tenaga Kerja, untuk disalurkan kepada masyarakat.
Sin Cokrovanus mengadakan sembako tersebut di Makassar dengan harga senlai Rp1,3 miliar atau lebih besar dari dana yang diterima dari PT.Bank Sulteng. Terdapat selisih sebesar Rp429 juta. Menurut Sin, masih ada dana lain yang masuk, selain dana dari PT.Bank Sulteng yang kemudian ia gunakan untuk membeli sembako.
Sembako yang dibeli Sin Cokrovanus berupa 7.000 kemasan beras isi 5 kilogram, 7.000 kilogram gula isi 2 kilogram, 7.000 kemasan miyak goreng isi 2 liter, serta 2.000 dos mie instan.
Meski sembako yang dibeli cukup banyak, namun Dinas Pendidikan hanya menerima paket sembako untuk disalurkan kepada 2.500 penerima saja. Bantuan tersebut disalurkan kepada guru honorer SD,SMP serta TK PAUD.
Sementara itu, Dinas Tenaga Kerja tidak mengetahui berapa banyak paket sembako yang diberikan Sin Cokrovanus itu. Dinas tenaga kerja hanya mengingat sembako yang diberikan dalam bentuk beras,gula,minyak goreng dan mie instan.
Sebenarnya, Dinas Tenaga Kerja tidak saja mengelolah sembako yang diberikan sin Cokrovanus dari dana CSR PT.Bang Sulteng itu. Sebap, Dinas Tenaga Kerja juga menerima bantuan dari sejumlah pihak, seperti dari JOB Tomori, PT.Donggi Senoro, PT.PAU, PT.Indoturbine,PT.Rediant Utama Internisco,tbk, PT.Sinar Prapanca, PT.Gobal Dharma Sarana Karya, PT.Kartika Bina Medikatama dan PT.Lautan Gunung Mas.
Bahkan selain sembako yang cukup banyak, Dinas Tenaga Kerja juga menerima dana tunai dari PT.Catur Elang Perkasa senilai Rp33 juta yang di transfer ke rekening pribadi atas nama Cristofel Satolom. Hanya saja, semua bantuan covid tersebut tidak jelas penyalurannya dan menjadi bagian yang diangkat oleh tim pemeriksa BPK dalam LHP tahun 2020 lalu.
Pengadan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai mengalokasikan anggaran untuk pengadaan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) pada tahun 2020. Karena adanya pademi covid-19 yang mendesak, pengadaan BMHP tersebut tidak perlu dilakukan melalui mekanisme lelang, dan cukup dilakukan dengan cara penunjukan langsung kepada penyedia.
Ada enam paket pengadaan BMHP tahun 2020 dengan total nilai Rp50.299.993.000 yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, dengan menunjuk lima penyedia untuk mengadakan.
Keenam paket BMHP tersebut adalah belanja APD Covid-19 senilai Rp1.250.000.000 dengan penyedia PT.HMT, belanja APD Covid-19 senilai Rp473.327.000 dengan penyedia PT.AMS, belanja BMHP medik covid-19 senilai Rp450.000.000 dengan penyedia CV.SM, belanja APD senilai 62.930.000 dengan penyedia CV.AB, pengadaan APD Set Level 3 senilai Rp36.312.500.000 dengan penyedia PT.AKR Cabang Makassar dan pengadaan BMHP senilai Rp11.751.191.000 dengan penyedia juga dari PT.AKR Cabang Makassar.
Setelah ditelisik, ternyata terdapat perbedaan harga untuk barang yang sama pada dua paket yang berbeda, padahal pada satu penyedia yang sama.
Seperti yang terlihat pada dua paket pengadaan masker N95 yang sama sama diadakan oleh PT.AKR Cabang Makassar.
Pada paket yang satu, harga masker N95 sebesar Rp160 ribu per buah. Sementara untuk masker N95 pada paket lainnya, harganya sebesar 120 ribu per buah. PPK Dinas Kesehatan dan pihak penyedia berdalih, meski sama sama masker N95 namun berbeda merek, sehingga berbeda pula harga. Sementara itu, informasi yang dirangkum media ini dari sumber lainnya menyebutkan harga masker N95 per buah dipasaran jauh lebih murah dari harga pada dua paket tersebut.
Begitu juga pada dua paket pengadaan masker bedah 3 ply yang juga diadakan oleh PT.AKR Cabang Makassar. Pada paket yang satu harganya Rp5000 per buah, sedangkan pada paket yang satu harganya 88.400 per dos dengan isi 50 buah.
Artiya, pada paket dengan harga 5.000 per buah, jika dikonversi ke dalam dos (1 dos isi 50 buah), maka harganya menjadi jauh lebih mahal yakni menjadi Rp250.000 per 50 buah atau setara dengan 1 dos.
PPK dan pihak penyedia berdalih, untuk pengadaan masker pada paket dengan satuan buah, dilakukan karena pengadaan yang disepakati adalah pengadaan dalam satu set APD yang dikemas secara satuan untuk masing-masing item APD. Sedangkan masker pada paket dengan satuan dos, karena pengadaan yang disepakati adalah pengadaan dengan satuan dos.
Akal akalan harga tersebut terjadi pada pengadaan yang dilakukan oleh salah satu penyedia untuk dua paket pengaaan dengan nilai kontrak terbesar, yakni pengadaan APD Set Level 3 senilai Rp36,3 miliar dan pengadaan BMHP senilai Rp11,7 miliar yang sama sama dilaksanakan oleh PT.AKR Cabang Makassar.
Pembayaran Insentif Tenaga Kesehatan Yang Menangani Covid-19
Realisasis pembayaran insentif tenaga kesehatan yang menangani covid-19 tahun 2020 di Kabupaten Banggai senilai 6,2 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari Rp2,2 miliar tenaga kesehatan RSUD Luwuk, Rp3,8 miliar tenaga kesehatan Dinas Kesehatan dan Puskesmas, dan Rp201 juta untuk tenaga kesehatan di RS Daurat Covid.
Yang menjadi soal adalah, ternyata pembayaran insentif hanya dilakukan berdasarkan absen saja. Padahal seharusnya, berdasarkan aturan, pembayaran insentif tenaga kesehatan ditentukan oleh tiga komponen, yakni jenis tenaga kesehatan, jumlah hari penugasan dan jumlah pasien.
Besaran insentif tenaga kesehatan tentu berbeda beda, tergantung jenis dan kualifikasinya, seperti dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan lain-lain. Begitu juga dengan jumlah hari penugasan, tentu harus disesuaikan dengan bukti bukti penugasan. Semakin banyak tugas atau penugasan, semakin besar insentif yang diterima. Begitu juga dengan jumlah pasien yang ada, besaran insentif yang diterima ditentukan juga oleh banyaknya pasien covid yang ditangani.
Hanya saja yang terjadi, pembayaran insentif hanya dilakukan berdasarkan absen kehadiran, yang diterima dari ruangan-ruangan masing-masing tenaga kesehatan.
Setelah diperiksa oleh BPK, ternyata ada hari dalam bulan tertentu, yang tidak ada pasien covid di RSUD Luwuk. Artinya, bukti hari penugasan yang hanya didasarkan pada absen, teryata tidak menunjukan kondisi yang sebenarnya.
Belanja Tidak Terduga Untuk Penanganan Covid-19
Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai pada tahun 2020 mengalokasikan anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp20,9 miliar untuk penanganan covid-19. Anggaran tersebut diperuntukan bagi penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi dan penyediaan jaring pengaman sosial.
Salah satu OPD pelaksana adalah Dinas Sosial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp941 juta. Anggaran tersebut digunakan untuk penanganan dampak sosial akibat pandemi berupa pengadaan beras sebanyak 90.000 kilogram untuk dibagikan kepada 9.000 kepala keluarga penerima dengan jumlah 10 Kilogram per kepala keluarga.
Setelah diperiksa, ternyata yang sudah tersalsurkan baru sebanyak 88.520 kilogram atau kepada 8.852 kepala keluarga. Harusnya masih ada sisa beras yang belum disalurkan kepada 148 kepala keluarga atau sebanyak 1,4 ton beras.
Begitu juga saat dilakukan uji petik penyaluran di wilayah Kecamatan Nambo, ternyata, disana, nama nama penerima banyak yang ganda. Ada sebanyak 55 kepala keluarga penerima ganda, namun diberikan beras hanya sekali saja aau sebanyak 10 kilogram. Harusnya ada nama nama pengganti untuk disalurkan, namun hal tersebut tidak dilakukan. Menurut BPK, dalam kasus Nambo, harusnya ada sisa beras yang belum disalurkan sebanyak 55 kepala keluarga atau sebanyak 550 kilogram.
Secara total, sisa beras yang belum disalurkan menurut BPK adalah sebanyak 1,5 ton. Hanya saja, kepada BPK pihak Dinas Sosial mengaku sudah menyalurkan secara keseluruhan, dan tidak ada lagi sisanya. Mengenai penerima ganda, disebutkan nanti akan menjadi perhatian dan bahan perbaikan pada tahun berikutnya.
Parahnya, sasaran pemberian bantuan sosial terkait penanganan dampak pandei covid-19, tidak dilakukan berdasarkan data terpadu. Masing-masing OPD meyalurakan bantuan kepada sasaran masing-masing yang tidak terkordinasikan mengenai data penerimanya. Akibatnya, tidak saja terjadi penerima ganda dalam penyaluran bantuan satu OPD, melainkan terjadi pemberian bantuan ganda utuk beberapa OPD yang melaksanakan bantuan covid.
Pasalnya, selain Dinas Sosial, ada juga OPD lainnya yang sama-sama pengelolah dana BTT untuk covid-19, seperti Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Pariwisata.
BPK menilai penyaluran bantuan sosial dari realisasi belanja tidak terduga di Kabupaten Banggai, dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta berpotensi terjadinya pemborosan belaja dalam rangka penanganan covid-19. (bb/03)
Discussion about this post