BERITABANGGAI.COM, LUWUK – Rumah mungil berdinding papan dan beralaskan tanah itu, lengang di sudut Desa Tomeang, Kecamatan Nuhon, Kabupaten Banggai.
Meski berjarak dengan rumah lain, rumah milik Jafar Suaiba itu hanya sekitar 300 meter dari Kantor Camat Nuhon atau 3 menit jika berjalan kaki.
“Maaf saya baru tiba dari (Desa) Bohotokong selesai panjat kelapa. Kalau tidak panjat kelapa, tidak ada uang,” kata Jafar sambil mengenakan kaos lusuh dan sandal jepit pada Rabu, 11 September 2024 siang.
Jafar memang sehari-hari bekerja sebagai buruh harian lepas, pemanjat kelapa untuk petani kelapa di Nuhon dan sekitarnya.
Pendapatannya yang tak seberapa itu, pria 53 tahun ini harus terpontang-panting berjuang untuk kelangsungan hidup.
Sebab, Jafar seperti ‘menyerah’ untuk mengharapkan bantuan apapun dari pemerintah di tingkat desa sampai kabupaten.
“Saya tidak pernah dapat bantuan. Di ikan lele tidak dapat. Nama ada, begitu turun bantuan tidak dapat,” katanya lirih.
Bukan sekali itu. Jafar pernah hampir mendapat bantuan peralatan memanjat kelapa. Tapi, lagi-lagi gagal.
Ia telah datang ke kantor desa, hanya begitu tiba ia diberitahukan bahwa belum mendapat bantuan yang berkaitan dengan pekerjaannya sehari-hari itu.
“Ditukar dengan alat pemanjat kelapa, nama ada, tapi tidak dapat bantuan,” katanya.
Rumahnya pun sudah berulang kali dipotret, tapi Jafar tak pernah mendapat bantuan apapun.
Jafar diinformasikan bahwa apabila sudah dapat bantuan langsung tunai atau BLT tidak dapat bantuan jenis lain.
“Saya dapat BLT, itupun baru-baru ini. Katanya kalau dapat BLT tidak dapat bantuan lagi. Orang lain bisa, dapat bantuan lain biar pun sudah dapat BLT,” tuturnya.
Meski begitu, Jafar tak menyerah. Ia memilih mengubur harapan soal bantuan. Untuk menambah pendapatan, ia mencari pendapatan lain dengan menjaga ternak sapi milik orang lain.
“Barangkali nanti 2080 baru dapat bantuan,” katanya setengah berkelakar.
Di tengah kesulitannnya, Jafar tetap gigih menyekolahkan anaknya yang saat ini duduk di bangku SMP.
Anaknya pun tak pernah tersentuh bantuan pendidikan, termasuk Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Meski seringkali diminta fotokopi kartu keluarga.
“Dari SD tidak ada, saya bilang ke anak saya sabar saja. KIP pernah diurus, tapi belum ada sampai sekarang,” terangnya.
Ia mengakui sekolah gratis. Tapi tidak dengan tas, pakaian, atau sepatu.
“Biar saja (tidak dapat bantuan). Kalau sepatu rusak, buku, saya papa usahakan belikan. Tidak apa-apa,” katanya menirukan perbincangan dengan anaknya.
Jafar hanya berharap terus diberikan kesehatan agar segala yang diupayakan bisa menjadi bekal untuk anaknya.
“Iya hanya itu, mudah-mudahan sehat-sehat terus,” katanya sambil melihat telapak kakinya yang disebut kian ‘tipis’ karena memanjat kelapa. (*)
(bb/03)
Discussion about this post