Prostat adalah kelenjar yang berada pada bagian sistem reproduksi pria yang mengelilingi leher kandung kemih dan uretra. Namun tak jarang untuk seorang pria memiliki risiko terkena benign prostatic hyperplasia (BPH). Mungkin masih banyak orang yang belum begitu tahu terkait penyakit ini. Ketahuilah bahwa BPH adalah kondisi di mana terjadinya pembengkakan pada kelenjar prostat, tetapi bukan bersifat kanker. Nah, untuk gejalanya dapat ditandai dengan buang air kecil yang lambat, frekuensi kencing, urgensi buang air kecil, sering buang air kecil pada malam hari (nokturia), dan ketidakmampuan saat buang air kecil.
Di sisi lain, perlu diketahui juga penggunaan obat-obatan yang dapat membawa dampak buruk pada kondisi BPH, terutama pada obat-obatan yang mengandung zat antihistamin dan dekongestan. Antihistamin adalah obat-obatan yang sering digunakan untuk mengobati gejala alergi ataupun rhinitis alergi, sedangkan dekongestan adalah obat yang digunakan untuk meredakan hidung tersumbat yang disebabkan oleh sinusitis, flu maupun alergi. Namun, kedua obat ini dapat memperparah penyakit prostat. Pengaruh obat antihistamin pada BPH dapat dilihat dari efek antikolinergik dalam mengikat reseptor muskarinik yang berperan pada kontraksi otot dan efek sedasi pada saat obat melewati sawar darah otak, juga dapat melemahkan kontraksi pada kandung kemih sehingga mengurangi kemampuan dalam mengeluarkan urin. Sedangkan pada obat dekongestan dalam mempengaruhi BPH diyakini dapat meningkatkan resistensi pada urin melalui prostat sehingga menyebabkan otot polos di prostat dapat menekan uretra, sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan saat buang air kecil.
Adapun obat-obatan antihistamin yang dapat melemahkan kemampuan seseorang dalam mengeluarkan urin diantaranya diphenhydramine, brompheniramine, chlorpheniramine, doxylamine, loratadine, cetirizine dan fexofenadine yang biasanya terdapat dalam campuran sediaan obat yang dijual bebas ataupun bebas terbatas. Begitupun pada golongan obat dekongestan misalnya pada obat pseudoefedrin dan fenileprin. Kedua obat ini juga dapat memperburuk masalah prostat sehingga menyebabkan sulit dalam berkemih.
Perlu diperhatikan juga dalam penggunaan obat bebas (yang berlogo hijau dengan garis tepi hitam) dan obat bebas terbatas (yang berlogo biru dengan garis tepi hitam) yang biasanya masih banyak orang yang membeli di pasaran maupun warung-warung kecil. Sekalipun kedua golongan obat ini termasuk obat bebas, namun tidak boleh digunakan juga secara bebas dikarenakan bisa juga membawa dampak buruk yang mungkin terjadi. Misalnya penggunaan obat yang tidak sesuai, ada kemungkinan risiko dari efek samping obat, terjadinya interaksi obat apabila cara minum obat yang masih kurang tepat, dan penggunaan dosis yang salah. Jadi bisa berkonsultasi ke dokter terkait obat bebas yang akan dibeli atau bisa juga tanyakan ke apoteker terkait penggunaan obat bebas yang baik dan benar.(*)
Sumber :
Verhamme KM, SturkenboomMC, Stricker BH, Bosch R. 2008. Retensi urin akibat obat: Insiden, manajemen dan pencegahan. Drug Saf 31: 373-88.
Bergstra TG, Gutmanis I, Byrne J, Faulds C, Whitfield P, McCallum S,dkk. 2017. Retensi urin dan pemanfaatan obat di unit perawatan paliatif: Sebuah studi observasi retrospektif. J Pain Palliat Care Apoteker 31: 212-7
Penulis : Nur Apipa Daud
Putri dari lima bersaudara lahir pada 21 Februari 2000. Penulis berasal dari Desa Taugi, Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Penulis memulai pendidikan dasarnya di SDN 1 Tangeban tahun 2006-2012, MTs Negeri 2 Banggai tahun 2013-2015, dan SMA Negeri 1 Masama tahun 2016-2018. Saat ini penulis berstatus sebagai Mahasiswi Farmasi Semester 6 di Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo..Penulis dapat dengan cepat dihubungi melalui email :[email protected]
Discussion about this post