BERITABANGGAI.COM, LUWUK – Hari masih pagi. Saya harus bergegas mengejar waktu yang semakin sempit. Waktu sudah menunjukan pukul 06.15, atau tinggal menyisakan 15 menit lagi dari jadwal keberangkatan. Jarak dari kampung sembilan, Kelurahan Hanga Hanga menuju Hotel Swisbell In Luwuk sebagai titik kumpul, lumayan jauh.
“10 menit lagi star,” tulisan Iskandar Djiada, Ketua PWI Banggai dalam pesan whatsappnya, membuat saya harus memacu lari sepeda motor lebih kencang dari biasanya.
Minggu (30/5/2021) pagi itu, adalah jadwal keberangkatan rombongan wartawan menuju komunitas adat terpencil di pegungan Tombiobong, Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi (JOB Tomori), selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi yang berlokasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Saya menjadi salah satu peserta yang diajak dalam kunjungan itu. Untuk melihat program pemberdayaan yang dilakukan JOB Tomori di sana. Dan Alhamdulillah, saya tidak terlambat. Saya mendapati tim jurnalis dari berbagai media di Luwuk masih duduk di lobi hotel. Beberapa saat kemudian, kami diberangkatkan menggunakan dua armada mini bus milik perusahaan.
*
Mobil kami bergerak meninggalkan Swisbell In Hotel menuju lokasi kunjungan. Meluncur dari kawasan bukit halimun dan menyusuri jalan ruas Bubung-Simpong di pesisir pantai Tanjung Tuis disekitar Bandara SA Amir. Menurut driver mini bus yang mengangkut kami, kecepatan mobil tidak bisa melebihi standar yang sudah ditentukan perusahaan.
JOB Tomori rupanya benar-benar menerapkan standar keamanan dan keselamatan maksimal dalam bekerja. Buktinya, mobil yang kami tumpangi dilengkapi mikrokontroler dengan bunyi alarm sebagai indikator kecepatan mobil. Jika mobil melaju melewati batas yang ditentukan, alarm akan berbunyi dan terkoneksi ke kantor. Dengan begitu, sang sopir akan mendapatkan sanksi.
Saya menikmati perjalanan itu sambil mencicipi nasi kuning khas Luwuk yang sudah disediakan disetiap kursi mobil. Tak terasa, akhirnya kami tiba di Desa Bone Balantak, Kecamatan Batui Selatan.
Di desa itu terdapat simpang tiga jalan. Kami mengambil jalur kanan dan perlahan meninggalkan jalan utama ruas Batui-Toili. Jalan ini menuntun kami menyusuri Desa Suka Maju, sebelum sampai ke Desa Maleo Jaya.
Kondisi jalannya lumayan rusak. Lubang dengan kubangan air di dalamnya, membuat mini bus yang kami tumpangi berjalan sangat lambat. Tak ada pilihan lain, kecuali menginjak deretan lubang-lubang itu.
Sawah di sepanjang jalan menuju Desa Suka Maju terlihat sedang dipersiapkan untuk musim tanam padi. Seorang petani terlihat sedang mengurung air di petakan, sambil menyangkul dan membenahi pematang yang bocor. Bekas-bekas tanaman jagung yang sudah mengering juga banyak terlihat di kawasan itu. Sepertinya petani Suka Maju baru saja melewati masa panen.
Memasuki pemukiman warga, mobil yang kami tumpangi bisa sedikit lebih cepat. Pasalnya jalan di pemukiman sudah mulus, berbeda dengan kawasan persawahan yang kami lewati sebelumnya.
Di desa ini, saya tercengang melihat jemuran jagung pipil yang hampir ada di setiap rumah warga. Tak hanya jagung, ada pula jemuran cacahan nilam yang menyulut aroma wangi, dan juga kacang hijau. Saya pikir, suatu saat nanti desa ini akan lebih maju dengan produksi pertanian dan perkebunan yang dimilikinya. Seperti nama desanya, Suka Maju.
*
Mobil terus berjalan. Kami meninggalkan Desa Suka maju dan memasuki kawasan perkebunan warga menuju Desa Maleo Jaya. Jalannya kembali rusak, walaupun tak serusak jalan sebelumnya, namun jalur jalan ini sedikit ekstrim karena menanjak dan meliuk – liuk menyusuri bukit yang rata-rata sudah menjadi perkebunan warga.
Terlihat tanaman Nilam dan Kakao di kawasan perkebunan itu. Namun sebagian besarnya tampak tak terurus dan masih ditumbuhi semak belukar. Diperbukitan itu, tanaman kakao milik warga sudah tidak produktif. Sepintas, terlihat tanaman kakao petani terserang kangker batang dan jamur buah.
“Kawasan di sini memang banyak tanaman kakao, tetapi sudah tidak produktif karena terserang hama,” kata Mumu, teman asal Batui yang juga seorang jurnalis.
Setelah menanjak cukup lama, akhirnya kami tiba di Desa Maleo Jaya. Sebuah desa eks transmigrasi yang biasa juga disebut Batui tiga. Mobil yang kami tumpangi berhenti di ujung desa di pinggiran sungai. Dari situ, kami akan menuju Dusun Tombiobong, dusun yang dihuni Kominitas Adat Terpencil yang menjadi lokasi kegiatan JOB Tomori.
*
Setelah tiba di pinggir sungai, kami harus melewati sebuah jembatan gantung dengan bentangan yang lumayan panjang. Kira-kira 60 hingga 70 meter. Itu adalah satu-satunya jembatan yang digunakan warga Komunitas Adat Terpencil jika hendak ke desa induk, Desa Maleo Jaya.
Diseberang sungai, sudah ada motor trail milik komunitas motor trail Batui Selatan, yang disediakan oleh JOB Tomori untuk membawa kami menuju Dusun Tombiobong.
Tak ada pilihan lain, saya harus berusaha bisa melewati jembatan gantung itu sebagaimana tim lainnya. Saat melintasi jembatan, rasanya seperti melayang. Langkah kaki seolah tak bisa menyentuh lembaran lembaran papan yang dirangkai dengan kawat sebagai lantainya. Jembatan itu terus bergoyang seolah membalas setiap ayunan langkah. Sementara di bawah jembatan, tampak arus sungai deras yang mengalir di sela-sela bongkahan batu. Lintasan itu benar-benar cukup memacu detak jantung.
Setelah berhasil melewati jembatan gantung, saya bergabung bersama rombongan lain yang sudah lebih dulu tiba. Disitu kami menunggu tim dari JOB Tomori dan SKK Migas.
Sebelum berangkat, kami menerima pengarahan singkat dari tim JOB Tomori, terutama yang berkaitan dengan perilaku saat berada di lokasi pemukiman Komunitas Adat Terpencil.
“Mereka adalah masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Maka kita kita harus bisa menjaga perilaku kita disana,” kata Cut Desi Ariani, staf ComDev JOB Tomori. Dari namanya, Cut Desi sepertinya berasal dari Aceh. Namun ia tampaknya telah memahami adat dan kebiasaan hidup komunitas adat Loinang. Pemahamannya itu yang disampaikan pada kami semua, agar tidak keliru saat berada di kawasan pemukiman suku Saluan asli itu.
Setelah pengarahan, kami kemudian berdoa bersama dan melanjutkan perjalanan menuju Dusun Tombiobong. Sebagian dari kami menggunakan motor trail yang sudah tersedia, sedangkan saya, Mumu, dan dua rekan wartawan lainnya, memilih naik mobil hilux double cabin pembawa logistik.
Dibutuhkan waktu sekira 20 hingga 25 menit untuk sampai kelokasi kegiatan dengan melewati jalan berlumpur, menanjak dan berbatu. Kami melewati beberapa anak sungai dan jalan mendaki. Disepanjang jalan, terlihat tanaman Nilam milik masyarakat. Ada pula jerami kering bekas tanaman padi ladang, yang terlihat diantara areal tanaman sawit milik salah satu perusahaan perkebunan di Batui.
*
Setelah melewati jalanan penuh tantangan itu, kami akhirnya sampai di Dusun Tombiobong. Tempat dimana komunitas adat Loinang itu bermukim.
Kehidupan masyarakat setempat memang tampak sangat marjinal. Tak ada listrik di desa itu. Bahkan telepon selularpun tak dapat mengakses jaringan. Jarak rumah rumah penduduk masih berjauhan. Tak ada sarana publik apapun di dusun yang dihuni 32 kepala keluarga itu. Kecuali sejak lima tahun terakhir, sejak Aisyiyah, sebuah organisasi perempuan persyarikatan Muhammadiyah dari Pimpinan Daerah Aisyiah Banggai, masuk ke wilayah itu dan membangun Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) meski masih dalam kontruksi semi permanen.
“Ini adalah PAUD ke 32 yang kami Bangun di wilayah Kabupaen Banggai. Setelah PAUD, ke depan kami berencana membangun Sekolah Dasar,” kata Ketua PD Aisyiah Banggai Sri Moxa Jalamang.
Yang menggembirakan adalah, sejak setahun terakhir JOB Tomori ikut terlibat dalam pemberdayaan masyarakat adat setempat. Selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi yang berlokasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, JOB Tomori juga ikut mengarahkan program pemberdayaan di Tombiobong.
Alhasil, berkat kerjasama dengan PD Aisyiyah Kabupaten Banggai, tahun ini JOB Tomori membangun sebuah Pendidikan Anak USia Dini (PAUD) dengan kontruksi permanen ditempat itu, lengkap dengan sarana permainan dan Alat Permainan Edukatif.
Saat kami datang, anak-anak komunitas adat terpencil itu tampak sumringah. Mereka bermain ayunan, tangga majemuk, terowongan, seluncuran, alat bergelantungan dan seluncuran. Mereka memainkan semua itu dengan lincah, seolah hendak memperlihatkan kepada kami yang datang soal permainan baru itu.
Siang itu JOB Tomori juga memberikan nutrisi tambahan anak dalam kegiatan peningkatan gizi balita, dengan program gizi anak sehat menuju bebas stunting. Nutrisi itu diberikan kepada anak-anak komunitas adat yang sejak tadi duduk rapi diteras depan gedung PAUD. Meski sedikit pemalu, namun anak-anak itu tampak bahagia. Mereka juga bernyanyi dipandu oleh gurunya dari PD Aisyiyah.
“Tombiobong adalah binaan JOB Tomori yang sudah setahun lebih dikelola. Tujuannya adalah untuk kemandirian masyarakat. Semoga semua program yang dilaksanakan di sini bisa bermanfaat,” kata Relation Security And ComDev Manager JOB Tomori, Agus Sudaryanto.
Ada beberapa aspek pemberdayaan yang menjadi perhatian JOB Tomori, yakni pendidikan, pertanian dan kesehatan. Rencananya, untuk selanjutnya JOB akan fokus pada perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih bagi warga.
“Rencana ke depan adalah perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih. Pada aspek kesehatan kita juga fokus dalam penanganan masalah stunting, yang menjadi program pemerintah saat ini. Kita juga melakukan pemberdayaan ekonomi melalui edukasi perkebunan ramah lingkungan,” kata Yudi Yanto, selaku ComDev Section Head JOB Tomori, pada kegiatan penanaman perdana bibit bawang di kebun sahabat alam komunitas adat suku lionang.
JOB Tomori juga menyerahkan bantuan beberapa peralatan pertanian kepada masyarakat Tombiobong untuk digunakan dalam berkebun. Ada cangkul, mini sprayer, gembor penyiram dan beberapa alat kerja lainnya.
“Terimakasih, ini sudah cukup membantu kami,” kata Malonge, salah seorang warga setempat, yang juga merupakan satu satunya sarjana dari komunitas adat terpencil. Saya akan menceritakan soal Malonge, pada tulisan yang lain.
*
Saya benar-benar senang bisa mendatangi tempat ini. Tempat yang sering dikisahkan dalam banyak cerita tentang masyarakat adat di Kabupaten Banggai.
Tombiobong. Ini merupakan salah satu dusun di Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan yang dihuni oleh 32 Kepala Keluarga. Dari jumlah itu, 29 KK diantaranya adalah penduduk asli suku Loinang.
Siang itu, usai kegiatan, saya dan tim wartawan sempat mewawancarai salah satu warga Komunitas Adat Terpencil yang bernama Sikaap. Ia adalah kakak dari kepala suku KAT Tombiobong yang bernama Pesawat. Ia tidak dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Untuk berkomunikasi dengannya, harus menggunakan bahasa Saluan.
Ia mengaku belum lama tinggal di dusun itu. Belum sampai setahun. Sebelumnya, ia tinggal bersama keluarganya yang lain di pegunungan Bangketa, Kecamatan Nuhon. Dijelaskan, pada arah barat pegunungan Tombiobong, terdapat kehidupan komunitas adat terpencil disana. Jumlahnya 100 lebih kepala keluarga. Dibutuhkan waktu selama tujuh hari jika ia bersama anak-anaknya kesana. Namun jika ia hanya sendirian, ia hanya membutuhkan waktu sehari saja.
Sikaap, memiliki delapan orang anak yang terdiri dari tiga perempuan dan lima orang laki laki. Istrinya bernama Bingala (nama umum) atau Tongale (nama adat).
Ke delapan anaknya bernama Pilipin, Malaesia, Lihan, Kiong, Matii, Laala, Peng dan Burahim. Semua sudah menikah, kecuali anak bungsunya, Burahim yang saat ini tinggal bersamanya.
“Yang ada disini (Tombiobong_red) hanya empat, yang lain ada disana (pedalaman Bangketa_red)” kata Sikaap, dalam Bahasa Saluan.
Sikaap bercerita, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka becocok tanam meski dengan cara perpindah-pindah. Mereka menanam padi ladang jenis padi Habo. Ia tidak mengetahui berapa luas kebunnya. Yang jelas, hasil panennya selain untuk dimakan, juga biasanya dijual seharga 200 ribu. Dan biasanya digunakan untuk membeli garam di Desa Maleo Jaya.
Selain menanam padi, mereka juga menanam singkong dan ubi jalar. Semua dilakukan secara tradisional tanpa dukungan peralatan dan sarana produksi yang memadai.
*
Selepas zuhur, langit Tombiobong mulai gelap. Awan hitam tampak bergelayut dipegunungan. Seorang sopir rombongan JOB Tomori mengingatkan kepada kami untuk segera meninggalkan tempat itu. Sebab, jika terlambat, tim bisa terhalang banjir yang sewaktu waktu bisa datang ketika terjadi hujan di area pegunungan.
Sementara tim JOB Tomori belum berada di tempat. Selepas kegiatan siang tadi, mereka menyempatkan diri mandi di sungai Tombiobong yang terkenal jernih dan deras itu. Memang lokasinya tak jauh dari lokasi kegiatan.
Setelah menunggu beberapa saat, tampak Pak Ruru, ibu Desi, Pak Agus, Pak Yudi, Pak Damar, dan kru JOB Tomori lainnya kembali dari menikmati segarnya air di pegunungan Tombiobong. Kami menyempatkan diri melakukan foto bersama, lalu berkemas dan bergegas meninggalkan dusun yang telah memberi kesan dan pengetahuan baruku, tentang alam dan komunitas adat setempat.
Saat hendak pulang, kami melambaikan tangan kepada warga setempat. Sampai jumpa lagi, pada momentum kegiatan pemberdayaan JOB Tomori selanjutnya…(*)
Discussion about this post